Selasa, 23 April 2013

ANALISIS TRANSAKSIONAL


ANALISIS TRANSAKSIONAL

                   Analisis Transaksional adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Analisis Transaksional dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri. Teori analisis transaksional merupakan karya besar Eric Berne (1964), yang ditulisnya dalam buku Games People Play.
                   Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Teori analisis transaksional merupakan teori terapi yang sangat populer dan digunakan dalam  konsultasi pada hampir semua bidang ilmu-ilmu perilaku. Teori analisis transaksional telah menjadi salah satu teori komunikasi antarpribadi yang mendasar. Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi. Yang dipertukarkan adalah pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).
                   Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministic yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Gringkers’s mengemukakan pandangannya bahwa hakikat hidup manusia selalu ditempatkan dalam interaksi dan interelasi sebagai dasar bagi pertumbuhan dirinya. Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orangtua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic).
                   Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). Sikap orangtua yang diwakili dalam perilaku dapat terlihat dan terdengar dari tindakan maupun tutur kata ataupun ucapan-ucapannya. Seperti tindakan menasihatiorang lain, memberikan hiburan, menguatkan perasaan, memberikan pertimbangan, membantu, melindungi, mendorong untuk berbuat baik adalah sikap yang nurturing parent (NP). Sebaliknya ada pula sikap orang tua yang suka menghardik, membentuk, menghukum, berprasangka, melarang, semuanya disebut dengan sikap yang critical parent (CP). Setiap orang juga menurut Berne memiliki sikap orang dewasa. Sikap orang dewasa umumnya pragmatis dan realitas

Transaksional antara lain: status ego, belaian, atau perintah, pembentukan naskah, permainan, dan posisi hidup.

1. Status Ego
menurut eric berne bahwa sumber-sumber tingkah laku, sikap perasaan, sebagaimana individu melihat kenyataan, mengolah informasi dan melihat dunia diluar dirinya disebut status ego.
Istilah status ego yang digunakan oleh eric berne berbeda dengan istilah yang dikemukakan oleh freud (id,ego,super ego) karena bukan merupakan construct, akan tetapi status ego disini dapat diamati dan merupakan suatu kenyataan fenomenologis, yang dapat diamati dengan indera (Harris, 1987,Gilliard, et al,1994).
Landasan pemikiran Berne(1961) dan Prawitasari (1987) tentang status ego berdasar pada tiga hipotesis yang berlaku pada setiap individu.
1.     Bahwa setiap perkembangan menuju pada kedewasaan, melalui masa kanak-kanak.
2.     Bahwa setiap manusia mempunyai jaringan otak yang baik dan sanggup melakukan testing terhadap realita secara baik.
3.     Bahwa setiap individu yang berjuang untuk menuju ke dewasa telah mempunyai orang tua yang berfungsi atau seorang yang dianggap sebagai orang tuanya.

           Didalam individu mengadakan interaksi dengan orang lain biasanya didasari oleh ketiga status ego tersebut. Ketiga status tersebut adalah status ego anak, dewasa, dan orang tua. Tingkatan ini timbul karena adanya pemutaran data kejadian pada waktu yang lalu dan direkam, yang meliputi orang, waktu, keputusan, perasaan yang sungguh nyata (Harris, 1987).

Status Ego Anak
ego anak dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu sebagai seorang anak yang menyesuaikan dan anak yang wajar. Anak yang menyesuaikan diujudkan dengan tingkah laku yang dipengaruhi oleh orang tuanya. Hal ini dapat menyebabkan anak bertindaak sesuai dengan keinginan orang tuanya seperti penurut, sopan, dan patuh, sebagai akibatnya anak akan menarik diri, takut, manja, dan kemungkinan mengalami konflik. Anak yang wajar akan terlihat dalam tingkah lakunya seperti lucu, tergantung, menuntut, egois, agresi, kritis, spontan, tidak mau kalah dan pemberontak.di dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat jika terjadi suatu interaksi antara dua individu.
Misalnya seorang teman menanyakan kenapa kamu kemarin kemu tidak masuk kantor, maka reaksi yang ditanya muncul perasaan kesal (kok usil amat), atau muncul perasaan takut dan kemudian memberikan jawaban agar dikasihani. Respon ini mewujudkan status ego anak yang menyesuaikan sebagaimana respon yang diberikan jika mendapat teguran dari orang tuanya.

Status Ego Dewasa
Status ego dewasa dapat dilihat dari tingkah laku yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat dari status ego dewasa adalah obyektif, penuh perhitungan dan menggunakan akal.
Didalam kehidupan sehari-hari interaksi dengan menggunakan status ego dewasa.
Misalnya seorang dosen sedang  memeriksa analisis data dari skripsi mahasiswanya dosen  mengatakan kenapa anda memilih saya sebagai pembimbingnya, maka mahasiswa menjawab ya pak, karena sepengetahuan saya, bapak ahlinya dan sangat menguasai mengenai permasalahan dalam skripsi saya.

Status Ego Orangtua
status ego orang tua merupakan suatu kumpulan perasaan, sikap, pola-pola tingkah laku yang mirip dengan bagaimana orang tua individu merasa dan bertingkah laku terhadap dirinya.
Ada dua bentuk sikap orang tua, yang pertama adalah orang tua yang selalu mengkritik-merugikan, dan yang kedua adalah orang tua yang sayang.
Misalnya sikap orang tua yang mengkritik merugikan seperti “ kamu sih terlalu malas, memang kamu bodoh sih, kamu anak bapak yang paling bandel”.Status ego orang tua yang sayang seperti memberikan dorongan, memberi semangat,menerima, memberikan rasa aman.

2. Belaian
Dalam teori analisis transaksional sebuah belaian merupakan bagian dari suatu perhatian yang melengkapi stimulasi yang optimal kepada individu. Belaian ini merupakan kebutuhan dalam setiap interaksi sosial dan menyehatkan.
Teori Analisis Transaksional menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak.

3 Permainan
Menurut Harris (dalam correy, 1982) bahwa permainan (games) merupakan aspek yang penting dalam mengetahui transaksi yang sebenarnya dengan orang lain.di dalam hal ini perlu diobservasi dan diketahui bgaimana permainan dimainkan dan belaian apa yang diterima, bagaiman keadaan permainan itu, apakah ada jarak dan apa diiringi dengan keakraban.
              Analisis Transaksional memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yg mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.

4 Posisi Hidup
Suatu keputusan yang dibuat dalam rangka merespon bagaimana reaksi figur orang tua terhadap reaksi awal anak perasaan dan kebutuhannya serta merupakan komponen dasar dari naskah hidup dari individu. Ada 4dasar posisi hidup:
1.     I’m Ok –You’re Ok
Individu mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan percaya orang lain.

1.     I’m Ok- You’re not Ok
Individu membutuhkan orang lain akan tetapi tidak ada yang dianggap cocok, individu merasa memnpunyai hak untuk mempergunakan orang lain untuk mencapai tujuannya.

1.     I’m Not Ok- You’re Ok
Individu merasa tidak terpenuhi kebutuhanya dan merasa bersalah.

1.     I’m Not Ok-You’re Not Ok
Individu merasa dirinya tidak baik dan orang lain pun juga tidak baik, karena tidak ada sumber belaian yang positif.

           Analisis lifescript individu didasarkan pada drama-nya keluarga asli. Sebagai hasil mengeksplorasi apa yang mereka pelajari berdasarkan lifescript mereka, klien belajar tentang perintah-perintah mereka diterima secara tidak kritis sebagai anak-anak, keputusan mereka dibuat sebagai tanggapan terhadap pesan ini, dan permainan dan raket sekarang mereka terapkan untuk menjaga keputusan awal ini hidup. Dengan menjadi bagian dari proses penemuan diri, klien meningkatkan kesempatan untuk datang ke pemahaman yang lebih dalam belum selesai mereka sendiri bisnis psikologis, dan di samping itu, mereka memperoleh kemampuan untuk mengambil beberapa langkah-langkah awal untuk keluar dari pola-pola merugikan diri sendiri.

5 batas Status Ego
setiap individu mempunyai ketiga ego tersebut( anak,dewasa, orang tua) bersifat permiabel, sehinggan dimungkinkan terhambatnya aliran dari status ego yang satu ke ego yang lain dalam menaggapi rangsang dari luar.akan tetapi ada batas antara dinding status ego tersebut sangat kuat, sehingga individu tidak mampu melakukan perpindahan ke status ego yang lain.

6 analisis transaksional
ada tiga bentuk transaksi yang terjadi antara dua individu, yaitu: 1)transaksi komplementer, transaksi ini terjadi jika antara stimulus dan respon cocok, tepat dan memang yang diharapkan, sehingga berjalan lancar; 2) transaksi silang, transaksi ini terjadi jika stimulus dan respon tidak cocok dan biasanya komunikasi ini akan terganggu; 3) transaksi terselubung. Transaksi ini terjadi jika antara status ego beroperasi bersama-sama.

B.     Tujuan dalam Pendekatan Analisis Transaksional
Menurut corey, melihat dari tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekrang dan arah hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi hidupnya.
                Menurut Harris (1967) melihat tujuan Analisis Transaksional sebagai membantu individu agar memiliki kebebasan memilih kebebasan mengubah keinginan, kebeasan mengubah respons-respons terhadap stimulus yang lazim maupun yang baru (h.82)
Menurut Lutfi Fauzan, Tujuan konseling analisis transaksional dapat dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.     Tujuan Umum Konseling Analisis Transaksional, ialah membantu individu mencapai otonomi. Individu dikatakan mencapai otonomi bilamana ia memliki Kesadaran, Spontanitas, Keakraban.

2.     4 Tujuan Khusus Konseling Analisis Transaksional
1.     Konselor membantu klien membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh negatif Status Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
2.     Konselor membantu klian menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari perintah-perintah orang tua.
3.     Konselor membantu klien untuk menggunakan semua status egonya secara tepat.
4.     Konselor membantu klien  untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi kehidupan “orang kalah”.

Senin, 15 April 2013

Logoterapi (sebuah Pendekatan Eksistensialis)

                 Bagian I. Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.

                   Dalam bagian pertama buku “Man’s Seach for Meaning” (Frankl, 1963), mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, “mengapa semua ini terjadi pada kita? “, mengapa aku harus menanggung derita ini?”, ada juga para tahanan yang berpikir “apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?”. Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.

                     Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna.
Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani “Logos” yang berarti “makna”).

                   Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan(Jalaluddin Rahmat, 2004). Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang fisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini.

                  Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini. Bagian II. Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat suatu syndrome kehampaan (emptyness) eksistensial dengan ditandai oleh kebosanan, kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi, yang tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan. Revolusi industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan majikan, dan kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya. Hilangnya hubungan pribadi (individualisme, permisifisme), tidak adanya pandangan bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa depan, lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme, kapitalisme, hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich Fromm (1988) menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti komoditi yang diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja komoditi.

                  Dunia Barat kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang mencari makna. Jika di masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti orang patah kaki, maka dalam dunia modern, seorang neurotik umumnya adalah orang yang memiliki dua kaki sempurna tetapi tidak tahu ke mana kaki itu harus pergi melangkah??? Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab “kecemasan eksistensial”, hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah “pertama” kematian: kita semua adalah makhluk yang fana’, kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. “Kedua”, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bias diramalkan atau dikendalikan. */Ketiga/*,

keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup,
b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi,
c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal Abidin, 2002).

                     Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura, berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis kebermaknaan hidup.

                     Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan “penamba” pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan makna? Untuk apa mereka hidup? Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman modern sekarang ini dalam buku “Man’s seach for meaning” (Frankl, 1963) dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari “invisible community” yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa kita harus memiliki keberanian dan kesabaran.

                   Yakni keberanian untuk membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian. Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus “menjalaninya”. Tentang “makna” menurut Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan; Pertama, makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya. Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar. Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus menemukannya.

                   Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang memang ditujukan kepada kita. Tujuan/makna adalah sesuatu yang “transcendental”, sesuatu yang berada di luar “pemiliknya” (Frankl, 1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi. Dengan begitu “kefanaan” menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang memelihara hidup kita. “Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia hidup memberi manusia suatu keabadian” Keterasingan dari dunia, lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi.

                     Sebaliknya ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak tahu untuk apa dia hidup. Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan. Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal Abidin, 2002). Bagian III.

                    Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari dalam hal apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa yang telah kita penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh seorang seperti “aku”, dan tidak ada seorang pun yang sama seperti aku. Penemuan makna memberi kita suatu pemahaman mengenai takdir, semua kegembiraan dan kesedihan tampak menjadi bagian yang sesuai dari keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-kepingan /”keramik”/ yang membentuk sebuah “mozaik” perjalanan hidup kita. Setiap kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia. Setiap peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi manusia sepenuhnya, yang memenuhi suatu “peran” yang memang “hanya” untuk kita.

                 Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall, 2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu:
 1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
 2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan, hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan, ketika kita tidak dapat memilih
 3. Makna dapat kita temukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain
 4. Makna membersit dalam tanggung jawab
 5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gadungan dari keempat hal di atas, ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita.

                   Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir “the ultimate meaning” yang menyadarkan kita akan “aturan Agung” yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar “grand design” yang ditampakkan kepada kita. Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl. Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat hidup bermakna “the will to meaning” sebagai motif dasar manusia, yang berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure dari Freud, dan hasrat hidup berkuasa the will to power-nya Alfred Adler. Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the will to meaning. Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini, Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan.

                    Manusia dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita, tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami. Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan menggunakan teknik “paradoxical intention”, yaitu mengusahakan agar orang mengubah sikap dari yang semula memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self detachment) terhadap keluhan sendiri, kemudian memandangnya secara humoritas. Logoterapi juga dapat diterapkan pada kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup, tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual Yang terdapat pada setiap orang, agar terungkap nyata (actual) yang semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh menghadapi setiap kemalangan dan derita. Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial, yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacamfrustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi oleh penghayatan tanpa makna (meaningless).

                  Gejala-gejalanya sering tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat “latent” dan terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja (wokerholic), free sex, dan perilaku hedonisme lainnya. Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa (inisiatif).

               Frustrasi eksistensial adalah identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu factor yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan “neurosis noogenik”, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995). Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga, masyarakat, maupun kepada Tuhan. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki nilai-niliai yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai problem, krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah seputar hasrat untuk hidup secara bermakna.

                   Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna hidupnya. Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang logoterapis guna membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan dalam hidup adalah memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang bersahabat, sehingga klien bebas menjelajahi keunikan dirinya tanpa merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang yang sedang jatuh cinta pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang terdapat dalam hidup orang yang dicintainya. Bagian IV.

                  Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita. *Namun kalaulah hidup diisi dengan penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan.* Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan “agama sekuler“. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajaran tersebut dinamakan dengan logoterapi.

Selasa, 02 April 2013

PERSON CENTERED THERAPY

Person Centered Therapy Client-centered Therapy adalah sebuah metode terapi yang diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Carl Rogers yang merupakan pencipta pendekatan konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu klien memenuhi potensi unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Pada awalnya terapi ini bernama Client-centered Therapy, tetapi mulai tahun 1974 Rogers dan rekan-rekan sejawatnya mengubah nama terapi ini menjadi Person Centered Therapy untuk lebih menekankan pada aspek manusiawi. Tetapi nama Client-centered Therapy masih digunakan terus dalam penjelasan-penjelasan Rogers, bergantian dengan istilah Person-Centered Therapy. Person-Centered Therapy terutama digunakan untuk aktivitas -aktivitas di luar situasi terapi satu-lawan-satu. Pendekatan ini adalah upaya untuk melepaskan diri dari terapi psikodinamika dan usaha untuk mengemansipasi manusia dari dari pengaruh orangtua yang menguasai pikiran, perasaan, dan tindakan anak-anaknya. Menurut Rogers, manusia pada dasarnya hidup di dunia pribadi dan subyektifnya. Pandangan pada perseptual subyektif klien inilah yang memunculkan istilah client-Centered, yang mana persepsi klien dianggap sebagai persepsinya mengenai realitas. Rogers menekankan bahwa satu-satunya realitas yang mungkin diketahui orang adalah dunia yang dipersepsinya dan dialaminya secara individual pada saat itu. Sementara ‘real world‘ adalah suatu realitas yang dapat disetujui semua orang. Pada Client-centered Therapy, manusia dipandang secara positif sebagai makhluk yang berbudaya dan bergerak maju. Bahkan karena manusia adalah makhluk yang positif, manusia tidak perlu mengontrol impuls-impuls agresifnya, karena impuls-impuls agresif ini juga mengarah pada hal-hal yang positif. Misalkan; seorang kakak memarahi adiknya karena adiknya diyakini oleh sang kakak berbuat suatu kesalahan, sehingga kakak menegur untuk kebaikan diri adiknya. Contoh lain: Lembaga sensor film juga tidak diperlukan menurut pandangan ini karena manusia dapat menentukan sendiri yang positif dan baik untuk dirinya. Sebagai manusia yang positif dan bergerak maju, sebetulnya manusia memiliki kemampuan untuk menghindar dari gangguan kepribadian sehingga tanggung jawab dalam proses terapi terletak di tangan klien. Klien sebagai pribadi yang aktif mengetahui yang terbaik untuk dirinya. Akar Client-centered Therapy adalah kapasitas klien untuk menjadi waspada dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Yang dimaksud waspada di sini adalah waspada terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya. Contohnya: klien waspada ketika ia mulai merasa bahwa dirinya marah terhadap pasangannya. Yang menarik dari karakteristik Client-centered Therapy (lihat karakteristik dari ppt materi pertemuan 4) adalah adanya pandangan bahwa antara individu yang mengalami gangguan kepribadian dan yang tidak mengalami gangguan pada dasarnya tidak ada perbedaan. Yang berbeda antara individu yang terganggu dan tidak terganggu hanyalah kematangan psikologisnya. Dan satu lagi, Client-centered Therapy ini bukan merupakan sekumpulan teknik atau dogma, melainkan hanyalah merupakan cara untuk berbagi pengalaman hidup antara terapis dan klien. Dengan demikian tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam pendekatan ini selain konsep-konsep dasar dan pandangan mengenai manusia yang perlu diperhatikan dalam memandang dunia fenomenal setiap individu. Dalam kehidupan, manusia sering berpura-pura sebagai perlindungan terhadap ancaman. Ketika manusia berpura-pura itulah, manusia seperti memakai topeng dirinya. Dan manusia yang terlalu sering berpura-pura lama kelamaan akan menjadi terasing terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu, manusia seringkali perlu bertanya “Who Am I?” untuk menyelaraskan antara dunia pribadinya yang ideal (ideal self) dan dunia kenyataan (real self), sehingga terbentuk kongruensi antara ideal self dengan real self. Apabila jarak kongruensi antara ideal self dan real self terlalu jauh, manusia akan menjadi bingung antara yang terjadi dengan dirinya dan yang terjadi dengan dunia di sekitarnya. Kematangan psikologis akan terganggu oleh karena kewaspadaan diri yang kurang optimal. Misalkan: ada seorang pria yang ingin menjadi dokter (ideal self), tetapi ternyata nilai-nilainya di fakultas kedokteran selalu kurang, sehingga ia sering tidak lulus ujian (real self). Hal seperti ini perlu menjadi pertimbangan pria tersebut, apakah ideal self-nya sudah kongruen dengan real self-nya? Apabila kurang kongruen, perlu dicari penyebabnya, yang kemungkinan besar, terkait dengan kurangnya kewaspadaan diri mengenai bakatnya yang menonjol. Individu yang seperti inilah yang membutuhkan Client-centered Therapy. Client-centered Therapy bertujuan agar individu dapat berfungsi secara penuh. Jadi diharapkan dengan mengikuti Client-centered Therapy, pria tersebut dapat menemukan bakat yang lebih menonjol dalam dirinya dan mengembangkan diri dengan bakatnya tersebut, sehingga ia dapat berfungsi secara penuh. Dalam Client-centered Therapy, diri terapis berfungsi sebagai instrumen perubahan pada diri klien, sehingga sikap terapis memiliki peranan besar terhadap keberhasilan terapi ini. Terapis Client-Centered sebaiknya menciptakan suasana yang kondusif yang mampu memfasilitasi pertumbuhan diri klien selama terapi berlangsung. Dalam hal ini, sebaiknya terapis bersifat hangat dan terbuka, sehingga perlahan-lahan klien akan merasa nyaman dan dengan sendirinya akan bersikap terbuka terhadap terapis. Selain itu, terapis tidak bersikap direktif, melainkan menciptakan hubungan yang bersifat menolong dengan menjadi cermin untuk klien. Dan yang tak kalah penting, terapis dalam klien Client-centered Therapy harus menjadi pribadi yang nyata/ jujur dalam hubungannya dengan klien. Pribadi terapis yang mampu memberi perhatian yang tulus pada klien tanpa syarat (Unconditional positive regard) juga menjadi prasyarat penting dalam Client-centered Therapy di samping kemampuan terapis untuk berempati secara akurat untuk memahami dunia klien yang fenomenal. Namun demikian, sikap terapis ini harus diimbangi dengan pribadi klien dan sikap klien yang positif selama sesi terapi berlangsung, sehingga dapat terwujud perubahan yang signifikan dalam diri klien yang merupakan buah dari proses terapi. Kelebihan : · Pemusatan pada klien dan bukan pada terapist · Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. · Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik. · Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif. Kekurangan : · Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana · Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan · Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu. · Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya. Sumber : Alwilsol(2008). Psikologi Kepribadian. UMM Press. Malang Suryabrata, Sumadi (2008). Psikologi Kepribadian. Rajawali Pers. Jakarta.

TERAPI HUMANISTIK EKSTENSIAL

Terapi Humanistik Ekstensial Psikologi Eksistensial atau sekarang berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau psikologi holistic berawal dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean Kierkigard tentang eksistensi manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik. Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat. Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19 yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama dari eksistensialisme adalah keberadaan (existence) individual manusia yang dialami secara subjektif. Istilah eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan habitatnya secara keseluruhan. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan (co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. Psikologi eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Salah satu tokoh pendekatan teori Humanistik adalah Carl Rogers yang terkenal dengan metode terapi yang bernama “Client Centered/Person Centered Psychotherapy”. Teori Rogers yang dinamakan juga teori fenomenologis atau teori “Self”, memiliki pendekatan yang humanistis dan bertentangan dengan teori psikoanalisis Freud yang dianggap terlalu merendahkan harkat manusia. Freud menganggap manusia sangat dikuasai oleh insting seks. Alasan lainnya adalah bahwa Freud menegakkan suatu teori atas dasar penelitian terhadap kasus abnormal. Terapi Humanistik merupakan suatu penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan terhadap dirinya. Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tetapi bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membuatnya memecahkan masalahnya sendiri. Terapi humanistik eksistensial memusatkan pada pengalaman-pengalaman sadar, memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang “disini dan kini”, bukan pada masa lampau. Teori ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan-perasaan individu sekarang, dan kedua-duanya juga berusaha memperluas pemahaman diri dan kesadaran diri pasien. Teori humanistik eksistensial sebenarnya tidak memilki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya seperti teori dari Gestalt dan Analisis Transaksional. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseling bahwa ia masih ada didunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia memaknainya. Sumber : Prabowo, Hendro & Riyanti, Dwi B.P. (1998). Psikologi umum 2. Jakarta: Universitas Gunadarma Ardani, T.A, (2010). Psikologi Abnormal. Bandung:LUBUK AGUNG http://www.psychologymania.com/2011/09/psikologi-eksistensial.html